Menguji Konsumsi Bioetanol di Tanah Air
Produksi minyak dan gas bumi Indonesia sejak 2010 terus merosot di bawah 1 juta barel per hari. Sejak itu, terjadi defisit antara produksi dalam negeri dan kebutuhan domestik.
Rata-rata kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri di kisaran 1,4 juta barel per hari. Sisanya, mau tak mau harus dipenuhi melalui impor.
Menyikapi kondisi demikian, pemerintah mulai bergerak untuk mencari sumber bahan bakar alternatif, dan itu berasal dari energi baru dan terbarukan. Yakni, dengan mengembangkan bahan bakar nabati (BBN).
Potensi bahan baku dari BBN atau bioenergi memang cukup melimpah. Mulai dari kelapa sawit, buah jarak, singkong, jagung, minyak kelapa, dan kedelai.
Ketergantungan pada bahan bakar fosil selama ini menguras anggaran negara. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, volume impor minyak Indonesia mencapai 30,06 juta ton pada periode Januari--September 2022. Jumlah tersebut meningkat 16,89 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Nilai impor minyak Indonesia pada Januari--September 2022 mencapai USD27,17 miliar atau setara Rp407 triliun (kurs Rp15.000 per dolar AS). Terdiri dari USD18,54 miliar untuk impor minyak olahan dan USD8,62 miliar untuk impor minyak mentah.
Tingginya impor hasil minyak ini salah satunya akibat produksi minyak olahan dari kilang nasional yang masih rendah. Sementara itu, permintaan BBM dan hasil minyak lainnya terus meningkat seiring naiknya jumlah kendaraan.
Oleh karena itu, sejumlah cara dilakukan untuk memperoleh produk yang nantinya mampu menggantikan peran BBM. Beberapa program untuk konversi BBM ke bioenergi sudah berjalan, antara lain, program biodiesel-35 (B-35). Produk ini merupakan campuran BBM solar dengan 35 persen ekstrak minyak kelapa sawit (CPO). Produk biodiesel sudah bergulir sejak 2008 dan kini biodiesel B-35 sudah dilepas ke pasar mulai Februari 2023.
Saat ini, pemerintah mulai menyiapkan pilihan bioenergi kepada masyarakat dengan meluncurkan produk bioetanol untuk kendaraan bermotor pada Juli 2023. Untuk itu, PT Pertamina ditugaskan mulai memproduksi bahan bakar jenis bioetanol, yang merupakan campuran antara Pertamax dengan nabati etanol pada Juni.
Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan, etanol yang akan digunakan nanti berasal dari molases tebu. Ia juga menekankan transisi energi ini bukan sekadar memiliki ambisi untuk menurunkan karbon emisi, tapi lebih penting mewujudkan kemandirian energi.
Uji coba awal dilakukan beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Surabaya, Mojokerto, dan Malang. Setelah Jawa Timur produk ini akan digulirkan di Jakarta. Sekretaris Perusahaan Pertamina Patra Niaga Irto Ginting menyebut, nantinya produk bensin jenis baru ini merupakan jenis Pertamax Series yang akan dicampur dengan bioetanol 5 persen sehingga menghasilkan BBM dengan RON 95.
"Harganya tentu kompetitif sesuai dengan BBM sekelasnya di RON 95," jelas Irto Ginting Kamis (22/6/2023).
Adapun Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Edi Wibowo mengatakan, program bauran bioetanol berbasis tebu untuk bensin itu masih dalam tahap uji coba pasar.
Pencampuran bioetanol sejatinya telah diujicoba dengan kandungan 2 persen (E2) di Jawa Timur pada 2018, tetapi hasil menunjukan harga BBM campuran bioetanol masih sedikit di atas harga BBM non-PSO. Namun, dengan meningkatnya harga BBM dan pentingnya upaya peningkatan ketahanan energi, kebijakan terkait dengan BBM campuran bioetanol kembali menjadi isu strategis.
Saat ini, pasokan yang tersedia dari PT Enero, Mojokerto dan PT Molindo, Malang sebagai produsen bioetanol fuel grade baru dapat memasok sekitar 5,7 persen saja kebutuhan Jawa Timur dan Jakarta. Sedangkan produksi pabrik Madu Baru di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, masih amat terbatas 3.600 kiloliter (KL).
Data Kementerian ESDM menunjukkan, kapasitas produksi bioetanol fuel grade baru mencapai 40.000 KL per tahun. Kemampuan itu masih terbilang jauh dari kebutuhan 696.000 KL untuk implementasi bauran bioetanol dengan BBM jenis bensin pada tahap awal di Jawa Timur dan Jakarta.
Diakui, Indonesia sudah ketinggalan jauh dalam memanfaatkan bioetanol untuk kendaraan bermotor. Sebelum Indonesia, sudah banyak negara di dunia yang memakai bahan bakar jenis ini.
Sebagai contoh, Tiongkok sudah merilis kebijakan untuk mewajibkan penggunaan etanol di seluruh wilayah pemerintahannya sejak Januari 2020. Berbeda dengan Tiongkok, Amerika Serikat (AS) dan Brazil merupakan negara yang sukses menerapkan etanol sebagai komponen wajib dalam campuran bahan bakar kendaraan.
Keduanya juga merupakan negara dengan tingkat produksi etanol tertinggi di dunia. Sebagai contoh, sepanjang periode 2018 AS berhasil memproduksi 16,1 miliar galon. Sedangkan, Brazil berada di posisi kedua dengan jumlah produksi sebesar 7,95 miliar gallon. Apalagi mayoritas kendaraan di Brazil kerap disebut sebagai flexible-fuel vehicle atau kendaraan yang mampu beradaptasi dengan bioetanol.
Satu hal, Presiden Joko Widodo mengharapkan, program bioetanol ini dapat berjalan sesuai rencana, dimulai dari bioetanol 5 persen (E5) pada BBM kemudian meningkat E10, E20 dan seterusnya. Program Bioetanol Tebu untuk Ketahanan Energi diproyeksikan dapat menjadi solusi peningkatan jumlah produksi bioetanol nasional dari 40 ribu KL di tahun 2022 menjadi 1,2 juta KL di tahun 2030 dan menjadi potensi campuran BBM jenis minyak bensin. Hal ini didasarkan pada studi yang dilakukan di Brazil, energi yang dihasilkan dari 1 ton tebu setara dengan 1,2 barel crude oil.
“Kalau tebu ini berhasil, kemudian B30 sawit itu bisa ditingkatkan lagi, ini akan memperkuat ketahanan energi negara kita, Indonesia,” ucap Presiden Jokowi ketika meresmikan pabrik etanol PT Enaro di Mojokerto, Jawa Timur, 4 November 2022.
Saat ini, Pemerintah tengah menyusun rancangan peraturan presiden tentang percepatan swasembada gula nasional dan penyediaan bioetanol sebagai bahan bakar (Biofuel). Produk bioetanol merupakan salah satu produk turunan yang dihasilkan dari industri gula berbasis bahan baku tebu.
Peluncuran produk bioetanol untuk bahan bakar kendaraan pada Juli 2023 menjadi momentum mempercepat implementasi transisi energi dari BBM ke bioenergi. Dampak ke depan, tentunya, mengatasi efek perubahan iklim maupun polusi di kota-kota tanah air bakal kian menurun. Defisit neraca perdagangan semakin berkurang serta pemanfaatan bahan nabati lokal akan menyerap banyak tenaga kerja.